Diduga Ada Praktek Monopoli, Biaya Study Tour SMA Rp 2,8 Juta Dinilai Tak Wajar
Dinas terkait harus turun tangan menyelesaikan persoalan tersebut
ARAHBARU , Cirebon – Dugaan adanya monopoli yang dilakukan biro perjalanan dari luar kota kini mulai jadi sorotan, hal ini menyusul adanya kegiatan study tour di sejumlah sekolah tingkat SMA di Kota Cirebon yang “diborong” oleh salah satu biro perjalanan saja.
Adanya monopoli itu pula yang kemudian berimbas pada biaya paket wisata yang ditawarkan. Tak heran jika kemudian biaya paket wisata (study tour) yang dibebankan pada orangtua siswa membengkak sangat tinggi yakni mencapai Rp 2,8 juta peranak. Seperti yang terjadi di SMA 1, SMA 2, SMA 6 dan SMA 7.
Mirisnya, dugaan monopoli itu justru dilakukan oleh perusahaan biro perjalanan dari luar kota Cirebon.
Melihat kondisi yang mengarah tidak sehat itulah, sejumlah biro perjalanan yang tergabung dalam Forum Lintas Asosiasi Travel Agen (Forlista) akhirnya bereaksi, mengingat dugaan monopoli sudah berlangsung cukup lama.
Ada lebih dari 100 biro perjalanan di Cirebon yang tersebar dibeberapa wadah, diantaranya Gabungan Pengusaha Industri Tour dan Travel (Gapitt), Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) DPC Cirebon Raya, Ikatan Pariwisata Indonesia (IPI) dan Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita). Semuanya bersuara tentang keprihatinan melihat kondisi tersebut.
“Kenapa kami bersuara, karena kegelisahan sudah lama berlangsung, dan sejauh ini tidak ada upaya pihak terkait menyikapi persoalan ini,” Kata Arianto, Koordinator Forlista Cirebon.
Dia meminta pihak terkait diantaranya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Cirebon segera turun tangan menyikapi persoalan tersebut. Kata Arianto, jika terus dibiarkan tentu berdampak terhadap keberlangsungan biro perjalanan lokal.
Ketika ditanya mengenai bengkaknya biaya study tour SMA di Kota Cirebon, bisa disebabkan beberapa faktor. Jika faktor penyebab itu masih relepan dan pantas tentu hal yang wajar.
“Ono sih ono tapi ojo ngonolah, dengan daerah tujuan destinasi sama, bus yang digunakan pun jenisnya sama, hotel menginap pun kelasnya sama, mematok harga Rp 2,8 juta persiswa itu jelas angka fantastis. Harusnya bisa dipangkas lebih kecil lagi sehingga beban orangtua siswa bisa berkurang, ” Tegasnya.
Senada, Ketua GAPITT Ciayumajakuning Budi Ariestya pun tak habis pikir melihat kondisi tersebut. Padahal secara legalitas biro perjalanan lokal itu sudah memenuhi standar, baik itu mengenai sertifikasi dan sebagainya. sudah resmi tapi mengapa seperti dianggap sebelah mata. “Ini bukan soal iri, tapi lebih kepada kepatutan,” Katanya.
Padahal kata Budi dengan menggunakan biro lokal, pihaknya yakin bisa memberikan harga pantas dan manusiawi kepada orangtua siswa
Sejatinya kata Budi, pihak sekolah atau siapapun yang berada diatasnya, haruslah bijak dan menekankan prinsip mengedepankan kearifan lokal. (dar)